MEDAN, SUARAPERJUANGAN.CO.ID - Ketua DPW Ikatan Media Online (IMO) Indonesia Provinsi Sumatera Utara H.A Anuar Erde yang sekaligus Dewan Penasehat Forum Jurnalis Pemprovsu (FJP) Provinsi Sumatera Utara mengatakan bahwa Istilah Halal Bihalal yang banyak digunakan masyarakat Indonesia saat berkumpul dengan sanak saudara dan kerabat hanya dikenal seusai perayaan Idul Fitri, pada Minggu (21/4/24) di kediaman Nuar Erde Jalan Karya Tani Medan.
Menurutnya meskipun istilah tersebut mengandung unsur bahasa Arab, tetapi kata halal bihalal tidak ditemukan dalam kamus Arab modern maupun klasik, dikatakannya saat digelar di Kediamannya di Jalan Karya Tani GG.Damai no.3, Kecamatan Medan Johor kepada awak media yang bertugas.
“Halal Bihalal merupakan penyebutan khusus terhadap sebuah tradisi yang dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat muslim Indonesia, dengan makna mengurai kekusutan tali persaudaraan”, katanya.
Hal tersebut disampaikan Ketua DPW H.A Anuar Erde disela sela bersilaturahmi bersama jajaran pengurus dan serta anggota lainnya yang tampak hadir.
Menurutnya lagi kata halal bihalal berasal dari kata halla-yahallu-hallan, dengan makna terurai atau terlepas.
"Halal Bihalal merupakan sebuah media untuk mengembalikan kekusutan hubungan persaudaraan dengan saling memaafkan pada saat dan atau setelah hari raya Idul Fitri. Sehingga istilah halal bihalal itu hanya dikenal usai sholat Idul Fitri", katanya lagi.
Pertanyaannya mengapa istilah halal bihalal hanya berlaku setelah Idul Fitri, Ya betul karena hal tersebut memiliki hubungan kuat dengan makna lafal Idul Fitri, yakni perayaan kembalinya manusia pada kesucian. “Idul berarti suatu perayaan yang diulang-ulang, sedangkan fitri bermakna suci.
"Maka Idul Fitri merupakan perayaan kembalinya manusia terhadap kesucian yang hanya bisa diraih dengan memperoleh ampunan dari Allah SWT, dan mendapatkan maaf dari sesama manusia", ujarnya.
Terkait dengan makna yang terkandung dalam istilah halal bihalal, Ketua DPW IMO Sumut H.A Anuar Erde mengutip uraian Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an yang menjelaskan sejumlah aspek untuk memahami istilah Halal Bihalal, diantaranya:
Pertama, dari aspek hukum fikih. Halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal memberikan pesan bahwa mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa.
"Dengan demikian, halal bihalal menurut tinjauan hukum fikih menjadikan sikap yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi, yang ini tentu baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halal bihalal, seperti secara lapang dada saling maaf-memaafkan", katanya.
Kedua, dari aspek bahasa atau linguistik. Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.
"Dengan demikian, jika memahami kata halal bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali. Hal ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai instrumen silaturahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.
Ketiga, dari aspek tinjauan Qur’ani. Halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak. Inilah yang menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.
Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik simpul bahwa halal bihalal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar “menyambung hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, dan berbuat baik secara berkelanjutan”.
Pesan yang berupaya diwujudkan melalui tradisi halal Bihalal lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana persatuan diantara anak bangsa tercipta untuk peneguhan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Sebab itu, halal bihalal lebih dari sekadar ritus keagamaan, tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif karena mewujudkan kemaslahatan bersama.
Sementara itu dalam sambutannya Sekretaris DPW IMO Sumut Fajar Trihatya SE, mengatakan acara halal Bihalal hari ini berlangsung dengan penuh keakraban dalam suasana kekeluargaan dan dihadiri oleh jajaran pengurus dan anggota IMO Sumut bersama Dewan Pembina IMO Sumut Prof. Dr. Dari, dan serta pihak keluarga besar Ketua DPW IMO Sumut Bapak H.A Anuar Erde yang telah menyambut baik tradisi silaturahmi Halal Bihalal yang ternyata perdana untuk Organisasi IMO Indonesia terkhusus di Provinsi Sumatera Utara.
"Diselenggarakannya Halal Bihalal ini dengan harapkan bisa digunakan sebagai sarana untuk saling memaafkan dan minta maaf, menjaga hubungan baik sesama para penggiat media online, serta sebagai sarana untuk merawat kerukunan antar sesama wartawan serta jurnalis di Sumut", ungkap Sekretaris Fajar.
Menurutnya Halal Bihalal ini diharapkan dapat meningkatkan solidaritas seluruh pengurus dan anggota IMO Indonesia Provinsi Sumatera Utara dalam menjalankan tugas Jurnalistiknya di tengah-tengah masyarakat yang majemuk dan dapat sebagai sosial kontrol masyarakat juga", ucapnya lagi.
"Halal Bihalal dapat mengukuhkan harmonisasi sesama jajaran pengurus dan Anggota IMO dengan para Stekholder terkait, dan diharapkan dapat meningkatkan mutu kinerja kerjasama yang sudah berjalan dan atau yang masih direncanakan untuk kedepannya", tutupnya.(Red/Tim)
إرسال تعليق